KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikanrahmat serta hidayah kepada
kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ”Sistem Pemilu Di Indonesia “agar kita mengetahui bagaimana system
pemilu ya ada di Indonesia.
` Penulis
tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan tugas makalah
ini sehinggga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dan tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing yang telah membimbing kami.
Dalam
penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah inidapat bermanfaat bagi
penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.
BandaAceh,31
Desember 2013
Yayan pria nanda
BAB
I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan
politik yang sangat menarik di lingkungan sosial . Pemilihan Umum merupakan
salah satu alat dan sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi
perwakilan di negara. Pemilihan umum juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada seseorang
calon atau partai yang dipercayai melalui perolehan suara dari masyarakat .
Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan
ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam
suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu
terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa
berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan
jumlah suara yang diperolehnya. Singkatnya sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara
pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
Sistem pemilu di Indonesia tidak
terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu
Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik
bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia,
pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional
dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik
cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya daya tarik yang tinggi
di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron,
lawak, penyanyi) yang tertarik untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.
Setiap sistem pemilu, yang biasanya
diatur dalam peraturan perundang – undangan setidak – tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaran, distrik
pemilihan, dan formula pemilihan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang – Undang
Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan kedaulatan Rakyat (Ps. 1
ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4 ). Suatu
ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam
pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun
legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi
politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan
operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat perjuangan kepentingan
rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan
alam.
B
.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
sistem pemilu Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan pemilu
dalam UUD 1945 ?
3. Apa saja sistem pemilu yang
pernah berlaku di dunia?
4. Apa saja sistem pemilu yang
berlaku di Indonesia ?
C.Tujuan
1.Untuk memenuhi kewajiban
penulis dalam menyelesaikan tugas Sistem Pemilu Indonesia
2.Untuk mengetahui bagimana
sistem pemilu
3.Untuk menambah wawasan baik
penulis maupun pembaca mengenai sistem pemilu di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
I.PENGERTIAN
SISTEM PEMILU INDONESIA
pemilihan umum merupakan sarana , alat atau
mediasi untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung ,
umum , bebas , rahsia , jujur , dan adil dalam NKRI berdasarkan pancasila dan
UUD1945 . Pemilu harus di laksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan
asas langsung , umum , bebas , rahasia , jujur dan adil .
Sistem pemilu dibagi dua yaitu :
1. Sistem perwakilan distrik à single
member constituency
2. Sistem perwakilan berimbang à multi
member constituency
1. A. Sistem perwakilan distrik
yaitu
-. sistem yang di tentukan atas kesatuan geografis di mana setiap
geografis / distrik
hanya mewakili satu wakil .
-. jumlah distrik yang di bagi ama dengan jumlah satu permanen .
B. Sistem perwakilan Distrik
Kelemahan :
- kurang memperhatikan partai kecil /
minoritas
- kurang represiantif karena calon yang
kalah kehilangan suara pendukung nya
Kelebihan
:
- calon yang di pilih di kenal baik karena
batas distrik
- mendorong kearah integrasi parpol ,
karena hanya memperebutkan satu wakil .
- sederhana dan mudah di laksanakan
- berkurangnya parpol memudahkan
pemerintahan yang lebih stabil à integrasi
2. A. Sistem Perwakilan
Proporsional
-jumlah kursi yang di peroleh
sesuai dengan jumlah suara yang di peroleh
- wilayah Negara dibagi-bagi ke
dalam daerah-daerah tetapi batas-batas nya lebih besar dari pada
sistem distrik
-
kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa di kompensasikan dengan
kelebihan daerah lain
- Terkadang,dikombinasikan dengan
sistem daftar , diamana daftar calon disusun berdasarkan peringkat .
B.Sistem perwakilan Proporsional
Kelemahan
- mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai partai baru
- wakil
lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di
wakilinya
- banyaknya partai bia mempersulit terbentuknya pemerintah stabil
Kelebihan
- setiap suara dihitung , dan yang kalah suaranya dikompensasikan
sehingga tidak ada suara yang hilang.
II.
BAGAIMANA PENGATURAN PEMILU DALAM UUD 1945
- pasal 18 ayat 3 à pemerintahan
daerah provinsi , daerah , kabupaten , dan kota memiliki DPRD
yang anggota anggota nya dipilih melalui PEMILU .
- pasal 19 ayat 1 à anggota DPR
dipilih melalui PEMILU
- pasal 22C ayat 1 à anggota DPD
dipilih dari setiap provinsi melalui PEMILU. Ayat 2 Jumlahnya sama dan jumlah
seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga anggota DPD itu tidak lebih
dari sepertiga jumlah anggota DPR.
- pasar 22E à PEMILU.
-.Pemilu dalam UU No.10 Tahun
2008
tahapan penyelenggaraan pemilu meliputi :
a. pemutakhiran data pemilih dan
penyusunan daftar pemilih
b. pendaftaran peserta pemilu
c. penetapan peserta pemilu
d. penetapan jumlah kursi dan
penetapan daerah pemilihan
e. pencalonan anggota
DPRD,DPD,DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
f. masa kampanye
g.masa tenang
h.pemungutan dan penghitungan
suara
i. penetapan hasil pemilu
j. pengucapan sumpah/janji
anggota DPR,DPRD,DPRD provinsi , dan DPRD kabupaten/kota.
*Masalah
Pemilu (hari ini)
1. persiapan pemilu 2009 à RUU
penyelenggaraan pemilu? Persiapan tinggal 2 tahun 4 bulan. Bila KPU terbentuk
April 2007 , maka tinggal 2 tahun . bandingkan dengan persiapan KPU dalam
pemilu 2004 .KPU terbentuk 24 april 2001. (3 tahun menjelang pemilu)
2. Alokasi kursi DPR tergantung
jumlah propinsi dan jumlah penduduk à bagaimana dengan propinsi baru,atau yang
akan lahir.
3.masalah penegakan hukum à
sanksi pidana maupun administrative tidak dijalankan maksimalàketidakpuasan
atas hasil pemilu
4. Penyelenggara pemilu (KPU)
àterperangkap masalah korupsi,suap dan kapasitas terbatas/lemah.
Perbedaan pokok antara sistem distrik dan
proposional adalah cara penghitungan suara yang dapat menghailkan perbedaan
dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing masing partai politik.
III.
Sistem pemilu yang pernah di terapkan di dunia
1.sistem Mayoritas/Pluralitas
menghendaki kemenangan partai atau calon legislatif yang memperoleh suara
terbanyak. Calon legislatif atau partai dengan suara yang kalah otomatis
tersingkir begitu saja. Varian dari sistem Mayoritas/Plularitas adalah First
Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block
Vote.
2.Sistem proporsional biasanya
diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian Plural ataupun multipartai
(banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah pemilihan, calon legislatif
ataupun partai politik dapat mengakumulasikan suara dari daerah-daerah
pemilihan lain, sehingga memenuhi kuota guna mendapatkan kursi. Varian sistem
Proporsional adalah Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote.
3.Sistem Mixed (campuran)
merupakan pemaduan antara sistem Proporsional dengan Mayoritas/Pluralitas.
Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara beriringan. Hal yang diambil adalah ciri-ciri positif
dari masing-masing sistem. Varian dari
sistem ini adalahMixed Member Proportional dan Parallel.
4.Sistem Other/Lainnya adalah
sistem-sistem pemilu yang tidak termasuk ke dalam 3 sistem sebelumnya. Varian
dari sistem lainnya ini adalah Single No Transferable Vote (SNTV),Limited Vote,
dan Borda Count.
IV.
Sistem pemilu yang pernah berlaku di Indonesia
Pemilu
1955
Pemilu
1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini
merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil
Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di
Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan secepat mungkin.
Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga kericuhan
politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru diadakan
tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.
Landasan
hukum Pemilu 1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4
April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota bikameral:
Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan
adalahproporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan
sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota
parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
- Jumlah anggota konstituante adalah hasil
bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas;
-
Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah
hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan
150.000; Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah
bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 6, dibulatkan menjadi
6; Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara daerah-daerah pemilihan
lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
- Jika dengan cara poin ke dua di atas belum
mencapai jumlah anggota konstituante seperti di poin ke satu, kekurangan
anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang memperoleh jumlah anggota
tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat
jaminan 6 kursi itu
- Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia
adalah total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas;
- Jumlah anggota DPR di
masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di
masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah anggota DPR di
masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut;
Jika kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3; Sisa jumlah anggota DPR dibagikan
antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk
warganegara masing-masing;
- Jika dengan cara poin ke lima
di atas belum mencapai jumlah anggota DPR seperti di poin ke empat, kekurangan
anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan memperoleh jumlah anggota
tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat
jaminan 3 kursi itu.
Pemilu
1955, sebab itu, ada dua putaran. Pertama untuk memilih anggota DPR pada
tanggal 29 September 1955.[4] Kedua untuk memilih anggota Konstituante pada
tanggal 15 Desember 1955. Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol
atau gabungan atau perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299
suara sah. Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara
sah meningkat menjadi 37.837.105 suara.
Pemilu
1971
Pemilu
1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 16
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan memilih 460
anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat
sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan
fungsional oleh Presiden.
Untuk
pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia.[5]
Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah
pemilihannya adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000
penduduk memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi
minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di
wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.
Dalam
Pemilu 1971, total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah
mencapai 54.699.509 atau 94% total suara.[6] Dari total 460 orang anggota
parlemen yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata
sementara 25 dari golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan
sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan
Sekber Golkar sehingga kursi Golkarmeroket hingga ke angka 257 (dari 232
ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin
laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.
Pemilu
1977
Dasar
hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975.[7] Pemilu ini diadakan
setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang digunakan
pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional
dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei
1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana
360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh
Presiden Suharto.
Persyaratan
untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau
pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun
organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana
kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat
yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa
Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan SMA atau sederajat,
serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Votingdilakukan di 26
provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).
Jumlah
pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya
63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar beroleh suara 39.750.096
(62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP beroleh suara 18.743.491 (29,29%) dan
memperoleh 99 kursi. PDI beroleh 5.504.757 suara (8,60%) dan memperoleh 29
kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah 75 kursi dan golongan fungsional
25 kursi. Golongan fungsional lalu menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar
sehingga kursi untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen
laki-laki 426 orang sementara perempuan 34 orang (7,40%).
Pemilu
1982
Pemilu
1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana
hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit
berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang
diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2
tahun 1980.
Voting
dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar
Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian
total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral
quotient di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah
82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%.
Golkar beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246
kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk
mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak
mendapat 24 kursi parlemen. Anggota DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal
dari ABRI sejumlah 75 orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan
fungsional lalu bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik
menjadi 267 kursi.[10] Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin
laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.
Pemilu
1987
Pemilu
1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya
yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi.
Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden
Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu
Proporsional dengan varian Party-List.
Total
pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah
mencapai 85.869.816 atau 91,30%.[11] Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%)
sehingga berhak atas 299 kursi parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%)
sehingga berhak atas 61 kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%)
sehingga berhak atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang
diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan
fungsional 25 orang (kursi). Jumlah
anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang
perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun
adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213
orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.
Pemilu
1992
Pemilu
1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem Pemilu yang
digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian
Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR.
Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah
adalah 97.789.534.[12] Untuk hasil
Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara (68,10%) sehingga berhak atas 282
kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62
kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56
kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25
orang (kursi) untuk golongan fungsional.Komposisi anggota DPR totalnya adalah
500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439
orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini
adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65
tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.
Pemilu
1997
Pemilu
1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu
ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang
anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian
Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah
disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.[13] Hasil Pemilu 1997
adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%) sehingga berhak atas 325 kursi
parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%) sehingga berhak atas 89 kursi
parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi
parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja
yaitu 75 orang (kursi). Total anggota parlemen 500 orang.
Pemilu
1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak
suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan.
Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat intervensi
pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri dihabisi secara
politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah
Ahmad.
Dari
500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara
perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3
orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan
di atas 65 tahun 2 orang.
Pemilu
1999
Pemilu
1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini
diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara
di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak
lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP,
dan PDI.
Sebelum
menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga rancangan
undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang
diketuai Profesor Ryaas Rasyid dariInstitut Ilmu Pemerintahan. Setelah
disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan
berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai
pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem
proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.
Dalam
pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) adalah
Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang
merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya
Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk
tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan
memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya
dilakukan oleh KPU.
Undang-undang
Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I minimal 45 dan
maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran penduduk.
Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi.
Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 – 7.000.000 mendapat 55 kursi.
Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 – 7.000.000 mendapat 65 kursi.
Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 – 9.000.000 mendapat 75 kursi.
Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 – 12.000.000 mendapat 85 kursi.
Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100
kursi.
Undang-undang
juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1
kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU. Dati II berpenduduk hingga
100.000 mendapat 20 kursi. Dati II berpenduduk 100.001 – 200.000 mendapat 25
kursi. Dati II berpenduduk 200.001 – 300.000 mendapat 30 kursi. Dati II
berpenduduk 300.001 – 400.000 mendapat 35 kursi. Dati II berpenduduk 400.001 –
500.000 mendapat 40 kursi. Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas
500.000 mendapat 45 kursi. Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 kursi
di DPRD II. KPU adalah pihak yang memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.
Jumlah
partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara
yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999
diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya,
Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27
partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999
yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai
KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI,
PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI.
Karena
penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden.
Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas
Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil
Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani
hasil tidak menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu,
Presiden lalu memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui
hasilnya tanggal 26 Juli 1999.
Masalah
selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan
adalahProporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah
pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord
(penggabungan sisa suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)
hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang
melakukan stembus-accord tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi
sisa.
Perbedaan
pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai
politik peserta pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua
opsi. Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara
stembus-accord. Kedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara
mendukung opsi pertama, dan 43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai
melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa
stembus-accord. Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini
masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah
Konstitusi belum lagi terbentuk.
Total
jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17%
suara sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional
dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang
dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi
berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai
yang punya sisa suara terbesar).
Perbedaan
antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan
calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah
pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai
otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon
terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di
mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah
daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan partainya mendapatkan suara terbesar,
maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan
perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama
dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.
Dari
total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin
laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu,
persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari
total.
Pemilu
2004
Pemilu
2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu
2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara
langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem
pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.
Pemilu
2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih
siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen
(DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga
maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.
Sistem
pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.
Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap
daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap
daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Untuk
memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian
Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem
pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk
memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian
Two Round System (Sistem Dua Putaran).
BAB III
PENUTUP
I.KESIMPULAN
Sitem pemilu merupakan suatu kegiatan yang
sangat menarik di kalangan mayarakat . sistem pemilu bisa juga di katakana alat
untuk memilih perwakilan DPR yang pas . sistem pemilu juga di rumuskan sebagai
proses pemilihan perwakilan DPR/D yang memang pas.
Di Indonesia sudah ada 9 kali
menyelenggarakan pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia . sistem pemilu
yang dianut Indonesia adalah sistem pemilihan proporsional , adanya usulan
pemilu paska soeharto yang tetap menggunakan sistem proporsional. Adanya usulan
sistem pemilu distrik tetapi di tolak. Dengan alasan bahwa sistem pemilu
proporsional lebih pas di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat
kemajemukan di Indonesia. Adanya kekhawatiran jika menggunakn distrik karena
aka nada kelompok kelompok yang tidak terwakili khususnya masyarakat kecil.
Sitem proporsional juga banyak di setujui oleh DPR , karena sistem ini lebih
mengutungkan. Bisa saja sistem proporsional ini akan di gunakan selamanya di
Indonesia. Karena tidak mudah untuk mengganti sistem pemilu di suatu Negara
kecuali perubahan politik yang radikal . Di Indonesia sendiri sistem pemilu
sudah mengalami perubahan dari sistem tertutup menjadi sistem proporsional semi
daftar terbuka dan sistem proporsional terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto terdapat
perubahan sistem pemilu yaitu terjadinya modifikasi sistem proporsional
Indonesia , dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka
. dilihat dari perubahan yang terjadi pada tahun 1999 dengan orde baru. Masa
orde baru yang menjadi pilihan nya yaitu provinsi sedangkan pada tahun 1999
provinsi itu masih daerah pilihan tetapi telah menjadi pertimbangan kabupaten
kota dan alokasi dari partai dengan perolehan suara. Pada pemilu tahun 2004
daerah pemilihan tidak lagi provinsi akan tetapi daerah yang lebih kecil lagi
walaupun ada daerah pemilihan yang mencakup satu provinsi seperti Riau
,Jambi ,Bengkulu ,Bangka Belitung, Kepri
,yogykarta , bali semua provinsi di Kalimantan , Sulawesi utara dan tenggara ,
gorontalo, Maluku , Maluku utara, papua dan irian jaya barat. Masing masing
pilihan mendapatkan 3-12 kursi. Pada pemilu besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil
3-10.pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar
peserta pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh coblos tanda gambar
kontestan pemilu dan calonnya. Agar pemilih dapat mengenal calonnya dan
menentukan siapa yang menjadi wakil DPR dan dapat memberikan calon yang tidak
ada nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih
(BPP) . Di katakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena
penentuan atau pemilihan siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan
kursi DPR/D tidak didasarkan perolehan suara terbanyak tetapi nomor urut .
Sistem proporsional semi daftar terbuka
pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi dalam pembahasan RUU mengenai
hasil pemilu pada 2002 PDIP,GOLKAR,PPP jelas jelas menolak sistem daftar
terbuka karena penentuan caleg adalah hak partai peserta pemilu. Memang jika
diberlakukannya sistemdaftar terbuka akan mengurangi otoritas partai dalam
menyeleksi caleg yang cocok duduk di kursi DPR/D. Tetapi akhirnya ketiga partai
itu menyetujui perubahan tetapi tidak terbuka secara bebas melainkan setengah
saja.
II.Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang
lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka
penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan
buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA”.
Karena Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan politik
Indonesia semakin kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya pengalaman dan
perkembangan politik Indonesia dapat menciptakan stabilitas nasional. Tugas
pembangunan kehidupan politik pada masa yang akan datang bukan hanya tugas
partai politik saja, tetapi semua elemen pemerintahan dan tidak ketinggalan
masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengembangkan perpolitikan di
Indonesia. Manejemen dan kepemimpinan juga haruis terus ditingkatkan, ongkos
politik yang tidak terlalu mahal dan
transparansi terhadap publik harus dekembangkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara agar stabilitas nasional dan politik kita semakin kokoh
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo Miriam, 2008,
Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 201
Prihatmoko, dkk. 2008.Menang
Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.